Setiap tanggal 10 November, Indonesia memperingati Hari Pahlawan Nasional. Ditetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan berdasarkan Keputusan Presiden no. 316 Tahun 1959 tentang Hari Nasional Bukan Hari Libur dan ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Saat itu, 10 November diharapkan menjadi momen untuk mengenang jasa para pahlawan dan tragedi 10 November 1945 di Surabaya. Pada tanggal 10 November 1945 terjadi pertempuran di Surabaya yang merupakan pertempuran besar antara tentara Indonesia dengan pasukan Inggris.
Pertempuran Surabaya berlangsung dari 27 Oktober 1945 sampai 20 November 1945. Puncak dari pertempuran itu pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran Surabaya adalah pertempuran pertama yang terjadi pasca Kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini pecah karena rakyat Belanda mengibarkan bendera Merah Putih Biru yang merupakan bendera Belanda di atas Hotel Yamato, Surabaya.
Hal ini membuat marah masyarakat Surabaya saat itu. Pengibaran bendera Belanda pada waktu itu dianggap sebagai penghinaan terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Padahal sudah jelas kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 atau beberapa bulan sebelumnya.
Para pemuda akhirnya mengganti bendera Belanda dengan merobek bagian biru dan menjadi bendera Indonesia, Bendera Merah Putih. Sejak itu, bentrokan tak terhindarkan. Bentrokan kecil semakin besar dan besar. Kemudian setiap hari menjadi serangan umum yang hampir membunuh banyak tentara Inggris. Serangan itu juga akhirnya menyebabkan tewasnya pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigjen Aubertin Mallaby.
Hingga akhirnya pada 10 November 1945, Komandan Divisi 5 Inggris Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh murka. Dia mengeluarkan ultimatum yang menyatakan bahwa pihak Indonesia harus berhenti berperang melawan AFNEI dan NICA. Rakyat Indonesia juga diminta untuk menyerahkan semua senjatanya.
Namun, masyarakat Surabaya tidak mengindahkan ultimatum tersebut dan menganggapnya sebagai penghinaan. Melihat tentara Sekutu yang ingin menjajah Indonesia kembali setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemuda Surabaya membela Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Sekutu kemudian melakukan Ricklef atau tindakan pemurnian darah. Mereka menyerang kota Surabaya baik melalui darat maupun laut, dengan menggunakan berbagai peralatan tempur seperti tank, pesawat dan kapal perang. Serangan yang terjadi pada pukul 06.00 WIB itu menelan banyak korban jiwa.
Masyarakat Surabaya tidak takut dengan ancaman ini. Meskipun mereka tidak memiliki senjata lengkap, Banyak yang melawan bahkan dari warga sipil. Mengutip Tirto, tokoh masyarakat yang bukan dari kalangan militer, salah satunya KH Hasyim Asy’ari, mengobarkan perlawanan rakyat menghadapi kekejaman Inggris. Selain itu, para pemuda, pedagang, petani, mahasiswa, dan berbagai kelompok lainnya menyatukan nyali untuk mempertahankan kemerdekaan.
Melansir situs resmi Pemerintah Kota Semarang, medan perang Surabaya dijuluki “neraka” karena kerugian yang ditimbulkan tidak sedikit. Sekitar 20.000 orang Surabaya menjadi korban perang yang mengerikan, kebanyakan dari mereka adalah warga sipil.
Selain itu, ada 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan sekitar 1.600 tentara Inggris tewas, hilang dan terluka serta puluhan peralatan perang rusak dan hancur. Banyaknya pejuang yang gugur saat itu juga menjadi bukti kegigihan masyarakat Surabaya melawan Sekytu. Hal ini membuat pasukan Inggris merasa “terpanggang” dan membuat kota Surabaya nantinya dikenang sebagai kota pahlawan.
Saat itu, Pertempuran Surabaya juga memupuk nasionalisme masyarakat daerah lain di Indonesia. Gerakan di Surabaya menjadi “inspirasi perlawanan” bagi para pemuda agar tidak lagi terjajah. Setahun kemudian, Presiden Soekarno menetapkan bahwa 10 November adalah Hari Pahlawan dan akan diperingati setiap tahun hingga sekarang.