Sejarah Diwajibkannya Ummat Islam Berpuasa di Bulan Ramadhan

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Ibnu Umar Radiyallahu anhuma meriwayatkan : Nabi Muhammad SAW melaksanakan puasa hari Asyura (10 Muharram) lalu memerintahkan para sahabat untuk melaksanakannya pula. Setelah Allah mewajibkan puasa Ramadhan, puasa hari Asyura ditinggalkan. Dari Abdullah bin Umar radiyaallahu anhu: “Tidaklah melaksanakan puasa hari Asyura kecuali bila bertepatan dengan hari hari puasa yang ditinggalkannya”. (HR. Imam Bukhari).

Makna yang terkait pada hadist di atas, sedikitnya ada tujuh fase, diwajibkannya ummat Muslim berpuasa di bulan Ramadhan.

Pertama, puasa Ramadhan mempunyai proses dan sejarah, hingga akhirnya puasa tersebut diwajibkan atas ummat Muslim. Syariat puasa telah diwajibkan atas ummat nabi – nabi terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat ummat Nabi Nuh as, berpuasa satu tahun, dan satu tahun lagi tidak berpuasa. Lain lagi syariat berpuasa bagi ummat Nabi Ibrahim as, berpuasa selama enam bulan dan enam bulan lagi tidak berpuasa. Bedanya lagi dengan ummat Nabi Daud as, sehari berpuasa, dan sehari lagi tidak berpuasa. Dalam QS. Al-Baqarah 2 : 183) tertera : “Wahai orang – orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana duwajibkan atas orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa”.

Kedua, sebelum puasa Ramadhan, disyariatkan Nabi dan para sahabat telah melaksanakan puasa Asyura. Yaitu puasa pada 10 Muharram. Pensyariatan puasa Ramadhan ummat Nabi Muhammad, lebih ringan dibanding ummat nabi – nabi terdahulu. Yaitu, melakukan puasa semenjak terbit fajar hingga masuk waktu Maghrib. Artinya pada malam hari, ummat Muslim, dibolehkan makan, minum dan berhubungan suami-istri. Juga diwajibkan hanya sebulan dalam setahun. “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isterimu.Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka.

Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai datang malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka ketika kamu beritikaf dalam mesjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertaqwa”.(QS. Al – Baqarah 2: 187)

Baca Juga:  Renungan Harian Kristen, Kamis, 7 November 2024: Situasi Suci yang dalam Kendali Tuhan

Ketiga, menurut jumhur ulama termasuk ulama mazhab Syafi’i, tidak ada puasa wajib bagi ummat Muslim sebelum disyariatkannya puasa Ramadhan. Sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi, sebelum disyariatkannya puasa Ramadhan, puasa Asyura wajib dilakukan ummat muslim. Sementara menurut Atha bin Abi Rabi’ah, puasa yang diwajibkan sebelum ada pensyariatan puasa Ramadhan adalah puasa ayyamul bidh (pertengahan bulan bulan Hijriyah, tanggal 13, 14 dan 15).

Keempat, setelah ada syariat yang mewajibkan puasa Ramadhan, yaitu pada tahun kedua Hijriyah, maka puasa Ramadhanlah yang wajib dilakukan.

Kelima, pensyariatan puasa Ramadhan, juga melalui beberapa tahapan. Pada mulanya, puasa Ramadhan meskipun wajib, namun ummat Muslim boleh memilih, antara melakukan puasa atau membayar fidyah. Seperti yang tertera dalam surah Al-Baqarah ayat 168, meskipun tetap diingatkan, memilih untuk berpuasa adalah lebih baik.

Keenam, setelah periode pertama, maka kemudian puasa Ramadhan wajib dilakukan oleh ummat Muslim yang mampu dan tidak ada udzur. Akan tetapi, kewajiban ini cukup berat. Karena, puasa dilakukan semenjak seseorang tidur malam, hingga waktu Maghrib keesokan harinya. Artinya, seseorang yang sudah tidur pada malam hari, tidak boleh lagi makan, minum, dan berhubungan suami isteri sampai waktu Maghrib keesokan harinya. Hal tersebut membuat beberapa sahabat merasa berat melakukannya. Bahkan sampai ada sahabat yang pingsan karena belum makan (berbuka). Namun dia sudah tertidur, karena kelelahan bekerja. Ia harus makan dan minum lag sampai malam berikutnya.

Ketujuh, akhirnya, turunlah pensyariatan Ramadhan yang lebih ringan. Yaitu melakukan puasa, semenjak terbit fajar hingga masuk waktu Maghrib. Artinya, pada malam hari, ummat Muslim dibolehkan makan, minum dan berhubungan suami isteri. Hal ini disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 187.

Begitulah fase – fase pensyariatan puasa Ramadhan. (Dari berbagai sumber/ANA)

Baca Juga:  Renungan Harian Kristen, Kamis, 14 November 2024: Menemukan Rancangan Allah

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU