Tidak di ketahui berapa jumlahnya secara tepat. Versi Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak di pisahkan dari pria.
Fase kedua di mulai, menurut Belanda, yaitu mencari “kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh”. Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang di terjemahkan ke bahasa Bugis.
Dia memiliki daftar nama “pemberontak” yang telah di susun oleh Vermeulen. Kepala adat dan kepala desa harus membantunya mengidentifikasi nama-nama tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang di tuduh langsung dieksekusi di tempat.
Metode Westerling ini di kenal dengan nama “Standrecht” yaitu pengadilan dan eksekusi di tempat. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah di hukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.
Setelah itu rakyat di suruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 Wita telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. Sebanyak 61 orang di tembak mati.
Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga di bakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Monginsidi dan Ali Malaka yang di buru oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat di temukan.