Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 Desember 1946, Desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini sebanyak 33 orang di eksekusi mati.
Aksi tahap ketiga mulai di lancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Gowa dan di lakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 Desember 1946 serta 3 Januari 1947.
Pada Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang di lakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Menurut pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan hanya sekitar 3.000 rakyat Sulawesi Selatan tewas di bantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling.
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda, karena sebenarnya aksi terornya yang di namakan contra-guerilla, memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook.
Jadi yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat di masukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang hingga sekarangpun dapat di majukan ke pengadilan internasional.
Karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kedaluwarsanya. Perlu di upayakan, peristiwa pembantaian ini di majukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.