Pilkada, atau Pemilihan Kepala Daerah, adalah proses demokrasi di Indonesia yang memungkinkan rakyat memilih kepala daerah mereka sendiri. Sebelum 2004, kepala daerah diangkat oleh presiden atau DPRD.
Namun, pada 2004, terjadi perubahan besar karena ketidakpuasan terhadap sistem yang dianggap tidak demokratis dan kurang transparan. Pada 2005, Indonesia mengadopsi sistem Pilkada langsung, di mana rakyat memilih kepala daerah secara langsung berdasarkan hasil pemungutan suara.
Perubahan ini mengikuti Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dianggap sebagai langkah penting dalam meningkatkan demokrasi di Indonesia.
Sejarah Pilkada di Indonesia
Setelah kemerdekaan Indonesia, mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diatur oleh Undang-undang No 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini menyebutkan bahwa Kepala Daerah di tingkat provinsi diangkat oleh Presiden dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dengan jumlah calon minimal dua dan maksimal empat orang (Pasal 18 ayat 1).
Sementara itu, untuk tingkat kabupaten, Kepala Daerah diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten, juga dengan jumlah minimal dua dan maksimal empat orang (Pasal 18 ayat 2).
Kemudian, UU No 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah menggantikan UU sebelumnya. Dalam undang-undang ini, Kepala Daerah dipilih langsung oleh DPRD (Pasal 24 ayat 1), dengan Kepala Daerah tingkat I (provinsi) disahkan oleh Presiden dan Kepala Daerah tingkat II (kabupaten/kota) disahkan oleh Menteri Dalam Negeri (Pasal 24 ayat 2).
Selanjutnya, UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah mengubah mekanisme lagi. Kepala Daerah Tingkat I (Provinsi) dan Kepala Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari minimal tiga hingga maksimal lima calon yang telah disepakati antara Pimpinan DPRD/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Menteri Dalam Negeri atau Gubernur, dan kemudian dua calon diajukan untuk diangkat (Pasal 15 ayat 1 dan 2).
Era reformasi membawa perubahan besar dengan diterbitkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengatur bahwa pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan bersama (Pasal 34 ayat 1). Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden.
Kemudian, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan signifikan dengan menetapkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat (Pasal 24 ayat 5). Ini menandai sejarah baru di mana, untuk pertama kalinya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Namun, UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota mengembalikan kewenangan pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya kepada DPRD, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat 1. Penolakan masyarakat terhadap undang-undang ini menyebabkan penerbitan Perppu No 1 Tahun 2014, yang kemudian disahkan menjadi UU No 1 Tahun 2015.
UU ini mengembalikan mekanisme pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. UU No 1 Tahun 2015 mengalami beberapa perubahan, dengan yang terbaru adalah UU No 10 Tahun 2016, yang tetap mengamanatkan pemilihan langsung oleh rakyat. (*)