“Dadan nggak mau sekolah, Mak!”
Mulut itu berucap dengan lantang, dengan logat sunda yang fasih. Wajahnya memerah murka, nafas menggebu, mata melotot tajam.
Kedua kaki yang berbentuk mirip bambu itu melangkah lebar keluar rumah, memikul karung kosong di pundak dengan tangan kanan menenteng arit. Meninggalkan emaknya yang sedang menangis sedih di ambang pintu.
Sedikit jauh dari pemukiman warga, Dadan dengan emosi yang telah menguar duduk di atas rumput di area kebun. Bersiul seolah hidup tanpa beban sembari memangkas rumput panjang di hadapannya.
Sesekali bocah bertopi miring itu menyapa para pemetik teh yang berlalu-lalang, penuh riang dan kegembiraan.
Ya. Dadan melupakan semua hal perdebatan dengan emaknya yang baru saja terjadi.
“Masih nggak mau sekolah, Dan?” Tiga wanita seumuran emak Dadan yang akan berangkat memetik teh menatap bocah 10 tahun yang duduk klesotan di atas rumput.
Dadan membenarkan topinya dengan gaya sok keren. Sebelum menjawab, ia tertawa. “Enggak, aku kan udah pinter. Nggak perlu sekolah.” Dijawabnya dengan sombong, sok bisa atas segalanya.
“Mana ada orang pinter yang kerjaannya ngembala kambing, suka kelayapan lagi.” Namun, jawaban ini tak mampu menyentil hati Dadan. Bocah itu malah tertawa, bahkan terbahak hingga memukul-mukul rumput di sampingnya.
Seharusnya saat ini Dadan sudah berseragam gagah dan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Belajar bersama teman-temannya. Namun, nyatanya Dadan telah memutuskan tidak bersekolah sejak ia dinyatakan tidak lulus sekolah pada saat SD.
Alasannya, Dadan sering bolos, di samping itu Dadan sudah terlalu lama berada di bangku kelas dua kerena selalu tinggal kelas saat kenaikan kelas tiba.
Para emak pemetik teh saling bergeleng kepala. Tak merasa aneh akan kelakuan bocah satu ini.
Dadan sudah dikenal hingga penjuru desa, satu-satunya bocah di desa yang tidak mau bersekolah atau belajar, gemar mengembala kambing, dan duduk di ujung jembatan sambil mengorek-ngorek hidung dengan ilalang.
Seluruh desa menyebutnya sebagai ‘Jalma bodo nu bageur’ atau orang bodoh yang baik hati. Ya, Dadan memang bodoh tapi ia suka membantu orang lain, meski kadang pertolongannya tak dibutuhkan. Dadan juga bocah periang penebar tawa setiap orang.
Dadan mengasingkan diri dari teman seumurannya. Ia memilih bertani pada saat musim panen padi, mencari rumput untuk kambing emaknya, berjalan kaki mengelilingi kampung seraya menggigit ilalang, menendang-nendang batu yang di tengah jalan, dan memancing di sungai, biarpun tak ada air yang mengalir, Dadan akan tetap mengulur mata pancingnya.
Dengan harapan, akan ada ikan besar yang berjalan dan nyangkut di mata pancingnya, lalu ia akan tertawa sendiri dengan kencang karena pikiran konyolnya yang menunggu ikan di saat air sungai surut.
Tak ada handphone. Bocah itu berpikir bahwa tak penting memiliki gadget. Seluruh hidupnya tercurah bebas bersama alam.
Sejatinya, Dadan adalah manusia bertelinga budek dan bermata picek. Ia tak pernah mendengarkan siapa pun, ia hidup sebagaimana yang ia mau.