Dadan beranjak berdiri, menupuk-nepuk bagian belakang celana yang bolong pada bagian lututnya. Memikul karung yang sudah terisi rumput dan menenteng arit dengan asal tanpa takut jika melukainya.
Seperti biasa, Dadan pulang menuju rumahnya seraya bersenandung dan menendang apa saja yang nampak di matanya, entah batu, daun teh yang tercecer, atau bahkan angin sekalipun. Jangan lupa, sehelai ilalang sudah bergerak-gerak minta keluar dari baunya mulut
Dadan.
“Dadan!”
“Oi!” Dadan menjawab dengan lantang dan ramah. Dibuangnya ilalang yang ia gigit-gigit.
“Ini, tagihan listrik rumahmu. Tolong berikan kepada ibumu, ya!”
Dadan terdiam, tangannya terulur meraih secarik kertas yang berisi banyak angka dan huruf yang sama sekali tak ia ketahui. Dadan seperti sedang buta.
“Berapa yang harus dibayar?” tanya Dadan.
“Di kertas itu sudah ada semua rinciannya,” balas perempuan berkerudung seumuran Dadan. Seakan ia lupa jika Dadan tak pernah menginjakkan kaki ke sekolah atau dia memang tak tahu?
“A–ah, iya,” jawab Dadan gugup. Berlagak seperti orang normal yang mahir baca tulis. Dan menjaga image di depan perempuan cantik.
Dadan berpamitan, melambaikan tangan dengan ramah tanda perpisahan dengan semringah sambil berlari.
***
“Aku tidak buta … tapi kenapa rasanya seperti sedang buta? Aku tidak mengetahui apa saja yang tertera di kertas ini, aku ingin tahu harus berapa banyak uang yang emak keluarkan untuk membayar listrik, siapa tahu celenganku hasil mencangkul cukup untuk membayarnya. Tapi aku tidak tahu totalnya ….”
Saat ini Dadan di samping kandang kambing, duduk di atas karung berisi rumput yang tadi ia cari.
Bola mata Dadan melotot, kadang menyipit. Kadang membolak-balikkan kertas, kadang mengangkat kertas dan menjajarkannya dengan langit. Kadang ia berdiri, lalu membuat pantatnya terjun bebas di atas karung tadi.
“Apa mataku mines?” gumannya menebak. Masih mencoba memelototi angka dan huruf di kertas yang ia pegang.
“Kamu buta huruf.”
Dengan kaget, Dadan buru-buru menyembunyikan kertas itu ke belakang pantatnya. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan irama jantung yang berdegup kencang. Kini, matanya menatap emak tanpa kedip.
“Jika kamu merasa kasihan sama Emak karena takut dengan biaya sekolah yang mahal, setidaknya belajarlah membaca bersama Emak.
Biarpun kamu tidak pintar, setidaknya kamu mampu melihat huruf dan angka. Agar tidak ada satu orang yang mampu membohongimu.”
Kepala Dadan menunduk. Namun, kedua tangannya berkelahi dengan tangan emak yang berusaha mengambil tagihan listrik di belakang pantatnya. Yang akhirnya, emak adalah pemenangnya.