Ma’asyiral Muslimin rahimani wa rahimakumullah. Baru saja umat Islam kedatangan tanu Agung, yaitu bulan Ramadan.
Kaum muslimin menyanbutnya dengan penuh semangat dan gembira. Begitu juga dengan kepergiannya, akan menjadi sesuatu kehilangan yang sangat mendalam.
Itu tentunya akan sangat terasa bagi mereka yang mampu mengimplentasilan ibadah selama bulan suci Ramadan, dengan ichlas. Bukan hanya sekadar retorika.
Kita mengetahui bahwa Ramadan audah 8 hari berlalu, berpiaah dengan kita.Selama Ramadan kita setiap hari aibuk dengan ibadah untuk memburu derajat ketaqwaan. Namun kehadiran Ramadan ada limit waktunya. Hanya sebulan, yaitu 29 atau 30 hari.
Sang Kekasih
Sang kekasih Ramadan, pasti sangat kita rindukan. Mungkin banyak hamba Allah yang belum menemukan arti Ramadan sesungguhnya. Semua kebiasaan sudah kita jalani dan mulai terbiasa denganmu Ranadan. Meski tidak semua yang menyambutmu, namun semua makhluk merindukanmu kembali.
Mengupas datang dan pergi, hanya soal waktu. Namun esensi ibadah Ramadan tidak terlewatkan bagi orang yang istiqomah beribadah dan tidak mengenal waktu tertentu. Tetapi “the power ibadah”, sesungguhnya dapat dilihat pasca Ramadan.
Realitas dalam kehidupan sehari hari, masih banyak di antara kita berguguran di tengah jalan. Tidak sanggup lagi meladeni Ramadan.
Ma’asyiral Muimin rahimani wa rahimakumullah. Para sahabat di akhir akhir penghunung Ramadan, mulai nampak kesedihan di hati mereka. Dan gundah gulana di wajahnya Mengapa demikian ?
Tanu agung Shahrul Mubarak Ramadan akan meninggalkannya. Para sahabat Nabi SAW, bersikap demikian karena mereka sadar bahwa berlalunya Ramadan, secara otomatis, waktu yang penuh rahmat, berkah, ampunan berlipatgandanya pahala setiap kebajikan, dan kehadiran armosfir rohani yang kondusif untuk taqareub kepada Allah akan meninggalkannya.
Kondizi sahabat dalam melepas bulan Ramadan, sangat berbeda dengan keadaan kita. Kalau sahabat bersedih, sebaliknya kita penuh keceriaan dan kegembiraan. (kultum/berlanjut/ana)