Heboh kasus Singapura deportasi Ustaz Abdul Somad, Negara tetangga Indonesia ini, tiba-tiba popular di seantero wilyah di Indonesia. Agar mendalami bagaimana posisi dan potensi Negara ini. Berikut ditayangkan tulisan ADI KETU.
Sejak dimerdekakan Inggris dan berdiri sendiri sebagai sebuah negara memisahkan diri dari Sabah dan Sarawak Malaysia di tahun 1965, jumlah penduduk Singapura telah meningkat 3 kali lipat:
Dari 1,63 juta penduduk menjadi 5,5 juta (2014). Kondisi ini relative tidak berubah hingga tahun 2021, 5,45 juta penduduk. Tidak heran peningkatan penduduk hingga 300 % lebih ini membutuhkan ruang hidup yang makin luas untuk menampung dan melakukan kegiatan.
Kebijakan yang diambil Singapura, dengan memanfaatkan ruang kosong yang tersedia yang memungkinkan baik vertical dan horizontal. Vertical, dilakukan dengan membangun apartemen makin tinggi, dan ke bawah mengeringkan laut dengan membuat tembok penghalang dan bangunan tangki minyak, terowongan industry, dll hingga ke dasar laut.
Horizontal, dilakukan memperluas daratan melalui reklamasi wilayah lautnya, Luas daratan Singapura, awalnya hanya 582,5 km2 telah berhasil menambah luas 130 km2 menjadi 712,4 km2.
Namun perluasan belum berhenti, pemerintah Singapura masih ingin memperluas lagi daratan Singapura hingga 2030 menjadi 782,4 km.
Tidak ada yang salah dalam mewujudkan ambisi ini bila dipenuhi dari dalam negeri sendiri. Seperti yang ditulis Joshua Comarrof Phd, ahli geografi budaya dari UCLA. Perluasan pulau itu merupakan usaha yang sangat besar. Ini bukan hanya masalah reklamasi pantai:
Singapura tumbuh secara vertikal maupun horizontal
Ini berarti bahwa pasar nasional membutuhkan pasir sungai yang halus—digunakan untuk pantai dan beton—serta pasir laut yang kasar untuk membuat tanah baru. Dan tanahnya harus kokoh, karena bagian terbesar dari arsitektur Singapura adalah bangunan bertingkat tinggi.
Pasir dan agregat asing, bersama dengan tenaga kerja asing, sangat penting dalam mereplikasi tanah pulau di langit. Keduanya memasok pasar kondominium yang sedang berkembang dan peluncuran berkelanjutan program perumahan umum yang melayani lebih dari 80 persen populasi.
Bagi pemerintah Singapura, keamanan pasir merupakan perlindungan hak negara untuk pembangunan. Ini adalah prasyarat kelangsungan hidup fiskal dan politik. Pasir, seperti halnya uang, harus tetap likuid agar perekonomian terus bergerak.
Kerentanan pulau, kecenderungan entropisnya menuju penurunan umum, telah lama dibayangkan sebagai produk sampingan dari batas fisiknya.
Partai Aksi Rakyat yang berkuasa, yang mengklaim keberhasilan inisiatif perumahan, telah berulang kali menegaskan bahwa ketahanan bangsa bergantung pada perluasan pasar dan penduduknya yang terus-menerus.
Keduanya membutuhkan Lebensraum
Untuk alasan ini, pasir dan agregat disimpan dalam timbunan besar di daerah Seletar dan Tampines, dan dijual kepada kontraktor ketika perselisihan regional mengancam ketersediaan material.
Paradoksnya, pengelolaan risiko pesisir sangat mempengaruhi interior wilayah. Lahan besar yang didedikasikan untuk menyimpan pasir dan agregat kerikil menjadi situs yang diamankan dimana wilayahnya “dihilangkan dari peta”.
Masalahnya adalah ambisi Singapura memperluas daratannya ini dilakukan disamping dengan cara merusak ekologi negara tetangganya ( bahasa Comarrof: wilayah yang dihilangkan dari peta ) , juga berpotensi menimbulkan konflik geografi batas negara dengan Indonesia, termasuk ZEE berdasar ketentuan UNCLOS 1982 di masa depan, juga konflik geopolitik lainnya.
Bagaimana ini bisa terjadi?
1. Reklamasi
Untuk reklamasi , mengutip Prof Chou Loke Ming dari Biological Science Center of the National Institute of Singapore, “Kami dulunya mengambil pasir dari bukit-bukit di negara kami, lalu ketika tidak ada bukit lagi, kami memompa pasir dari dasar laut.Sekarang kami sebagian besar mengimpor pasir dari negara-negara tetanggga“.
Dengan penawaran harga pasir yang lebih tinggi tinimbang BBM, maka tak heran perdagangan pasir legal maupun illegal menjadi marak di seputaran perbatasan Riau Indonesia dan pantai barat daya Singapura
Walau sebenarnya reklamasi dimulai ketika Housing Development Board (HDB) mempelopori proyek pada awal 1960-an dengan tujuan menciptakan lebih banyak lahan di republik yang langka lahan untuk memenuhi kebutuhan perumahan, industri, infrastruktur dan rekreasi.
Namun perusakan lingkungan besar besaran terutama di wilayah utama pengambilan pasir di negara tetangga nya Indonesia justru melonjak pada 1999. Itu bersamaan pergantian pemerintahan Orde Baru ke Orde Reformasi di Indonesia.
Antek penguasa di orde reformasi Indonesia yang dekat dengan pemerintahan baru Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarno Putri berpesta pora diatas kerusakan lingkungan hidup Indonesia.
Mengapa tahun 1999? Karena pada tahun itu Singapura menggelar rencana melebarkan Bandara Changi, Jurong, dan Pasir Panjang, Singapura sekitar 33 kilometer persegi lebih besar dari sebelumnya – 5 persen dari total luas daratannya – dan bertujuan untuk menjadi lebih besar lagi.
Dalam rencana kala itu akan bertambah menjadi 820 kilometer persegi pada 2010. Untuk itu, dibutuhkan 1,8 miliar meter kubik pasir lagi selama delapan tahun ke depan untuk pekerjaan reklamasi termasuk Tuas View, Pulau Jurong dan Changi East.
Dampak proyek ini , berdatanganlah kapal keruk dari Belgia, Belanda, Rusia, dan Korea Selatan menjadikan perairan Riau sebagai perairan tersibuk di dunia untuk pengerukan seiring upaya Singapura untuk berekspansi. Sekitar 54 kapal keruk pasir dari total 70 kapal semacam itu di seluruh dunia beroperasi di dekat Riau
Dan bukan hanya kapal asing, penambang pasir lokal Indonesia pun ikut ambil bagian. Pasir pertama kali dijual ke pialang internasional, dengan harga sekitar S$1,50 (85 sen AS) per meter kubik, yang kemudian dijual ke perusahaan konstruksi Singapura dengan harga S$15 (US$8,50).
Oleh karena kapal keruk besar menyedot rongga-rongga di dasar laut selama 24 jam dalam jumlah yang sangat besar dan berlangsung lama , maka tak heran pasir di pantai berguncang dan longsor, dan lubang-lubang tersebut tertimbun.
Diperkirakan 300 juta meter kubik digali setiap tahun dari dasar laut di provinsi Riau dan Bangka-Belitung yang berdekatan dengan Singapura,
Kejadian seperti inilah yang menyebabkan 24 pulau pasir yang letaknya berhadapan langsung dengan perbatasan Singapura, di sekitar P.Nipah, Kepulauan Riau Indonesia tenggelam.Sudah hilang dari peta , hingga hari ini.
(Catatan Ironi: ketika para Bankir Indonesia membawa lari USD 13, 5 Billion uang dari Indonesia ke Singapura, bisa jadi sebagian limpahan dana itu yang digunakan Singapura untuk menghancurkan Indonesia kembali. )
Pemerintah Singapura menolak untuk bertanggung jawab atas mimpi buruk semua negara tetangga, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filiphina, Myanmar dan Kamboja ini.
Intinya, Pemerintah Singapura menegaskan bahwa perusahaan komersial lah yang membeli pasir dari berbagai sumber, bukan pemerintah Singapura.
Ketidakmampuan pemerintah setempat (termasuk Indonesia) untuk menegaskan disiplin di wilayahnya akan kemungkinan terjadinya impor pasir illegal bukanlah menjadi tanggung jawab pemerintah Singapura.
Pernyataan seperti ini terus diulang untuk menutupi keterlibatan pemerintah Singapura terhadap bencana lingkungan hidup yang melanda negara tetangganya, baik yang terjadi Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, Myanmar dan Kamboja.
Sebaliknya, Global Witness yang merupakan salah satu lembaga independen internasional telah membuktikan adanya keterlibatan pemerintah Singapura, dalam perdagangan pasir legal dan illegal yang ditandai dengan cap resmi dan tanda tangan pejabatnya dokumen pendukungnya
Bahkan sumber intelejen melalui media Australia, Sidney Morning Herald mengungkapkan bahwa Singapura melakukan perang pasir dengan melakukan operasi klandestein pasir dengan modus membayar para penyelundup (smuggler), kepada negara tetangganya. (P/ana)