FAJARPENDIDIKAN.co.id – Indonesia merupakan Negara dengan angka perkawinan anak tertinggi kedelapan di dunia dan satu dari Sembilan perempuan menikah dibawah umur 18 tahun. bahkan dilansir oleh Unicef Indonesia, Sulawesi Selatan menjadi provinsi dengan angka perkawinan anak lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
Hal yang tidak dapat dipungkiri yang mendasari perkawinan anak di Sulawesi Selatan ialah Tradisi yang begitu melekat dan telah dilakukan dari generasi ke generasi, factor financial yang berada pada garis kemiskinan, dan tingkat pendidikan rendah.
Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan kesimpulan isi pasal 7 (1) perkawinan hanya diizinkan pria dan wanita mencapai umur 19 tahun.
Sebab pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang terlalu muda sebagai pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, depresi, rentan perceraian, akses pendidikan terhenti dan bahkan resiko kesehatan reproduksi dan terhadap anak yang dilahirkan dari orangtua yang menikah terlalu dini keturunan mereka dapat mengalami masalah kesehatan seperti stunting dan IQ rendah.
Namun Komisi Perlindungan Anakn Indonesia (KPAI) sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2002 yang bertugas memberikan perlindungan terhadap anak, menetapkan batas usia pernikahan yang ideal yakni 25 tahun untuk laki-laki dan 22 tahun untuk perempuan.
Penetapan usia idela ini telah melalui pertimbangan secara perkembangan fisik dan psikologi yang dianggap telah matang, secara ekonomi siap bekerja, membina rumah tangga, dan siap memiliki anak. Selain itu pada usia tersebut setidaknya telah menyelesaian pendidikan tinggi. Apabila dibawah usia 20 tahun secara kemapuan financial belum dapat dicapai dan beresiko bagi perempuan yang akan melahirkan serta resiko bayi lahir dalam kondisi premature.
Dalam kampanye anti perkawinan anak yang di canangkan oleh unicef Indonesia mendorong remaja perempuan untuk mampu bersuara dan menolak perkawinan anak. Secara hukum dan kebijakan hanyalah aturan yang jarang bahkan tidak terimplementasi dengan seharusnya karena dorongan tradisi yang begitu melekat yang menjadi factor terbesar. (SLD)