Tak Sengaja Memojokkan Tuhan

Sudah sedari kemarin dulu, saya selalu dipaksa oleh Obin untuk mengikuti suatu kompetisi menulis yang tengah dirubung dan diikuti oleh teman-teman saya yang lain. Saya tak langsung membalas, ya, maupun, tidak. “Berbayar, harus saya pikir terlebih dahulu. Selain itu, tenggat waktunya tinggal nanti malam, jadi enggak bisa mendadak untuk menulis.” Jawab saya agar Obin tak terus-menerus nggeremeng kepada saya.

Kasihan. Namun dengan entengnya ia menawarkannya sekali lagi kepada saya, “Hanya dua puluh ribu. Terlebih, kau, sudah beberapa kali mengikuti kompetisi yang serupa. Lagipula, saya sudah menawarkan sedari dua hari lalu. Pikirkan baik-baik, Yum.”

Kemudian saya melipir sebentar dan langsung mematikan gawai saya. “Benar, biasanya saya mengerjakan beberapa kompetisi menulis lain dengan tenggat waktu yang terbilang mendekati pergantian hari.”

Lalu segera saja saya mengambil beberapa lembar kertas yang terlihat masih kosong melompong itu. Saya menumpahkan ide pada guratan pensil berwarna hitam keabuan dengan sedikit mengerutkan dahi saya. Sejurus kemudian, saya berganti untuk menggunakan mesin tik kepunyaan saya untuk menyalin hasil ide saya.

“Akhirnya selesai juga!” Gumam saya dengan bersijingkat kecil untuk merayakan keberhasilan saya setelah menyelesaikan naskah tersebut dengan waktu yang sudah sangat terbatas.

Kemudian saya teringat bahwa saya belum membalas pesan Obin, “Ya, Oyum, bersedia.”

Tak berangsur lama saya membalas pesan Obin, dengan cepat terdengar nyaring nada dering yang saya pasang untuk balasan pesan.

“Syukurlah. Jangan lupakan persyaratan yang lain, Yum.”

***

- Iklan -

Tepat hari ini, hasil kompetisi menulis yang saya ikuti akan segera diumumkan melalui salah satu platform sosial media oleh panitia. Saat itu saya merasa berharap- harap cemas dengan hasil yang akan saya peroleh. Namun kemudian saya dikagetkan dengan Obin yang tiba-tiba saja celingak-celinguk di muka pintu kamar saya.

“Masuk.” Tawar saya kepada Obin.

“Tak usah memasang raut masam begitu. Saya di sini akan menemani kamu.” “Saya tidak meminta,”

“Saya ingin saja,” kata Obin sembari membenarkan tempat duduknya di sebelah saya.

Kemudian saya dan Obin membuka platform sosial media tersebut tepat pukul dua belas lebih lima belas menit, yang merupakan waktu pengumuman hasil kompetisi menulis yang saya ikuti. Sejurus kemudian saya mendapati mata Obin terbelalak, pun saya lebih terbelalak, ketika melihat hasil juara yang disandingkan dengan nama saya. “Ada nama saya, Bin. Itu nama saya.”

“Untung kemarin saya memaksa kamu,” timpal Obin.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU