Tak Sengaja Memojokkan Tuhan

“Juara 2. Sudah sangat baik. Selamat, Yum.”

Teman saya Obin memang selalu begitu. Saya sendiri sampai merasa heran mengapa ia begitu mendukung saya terhadap kegemaran yang saya geluti ini.

“Iya, Bin, terima kasih karena sudah memaksa saya untuk mengikuti kompetisi menulis ini.” Jawab saya yang segera dibalas Obin dengan hamburan senyum berlebih yang tak dapat saya hindari. Kemudian gawai saya berdering.

Ada satu pesan dari nomor yang tidak saya ketahui. “Dari panitia toh rupanya.” Terlihat isi pesan tersebut memberitahukan bahwa hadiah yang saya dapatkan masih dalam proses pengiriman.

Beberapa menit kemudian, Obin berpamitan kepada saya. “Hendak ke pantai. Saya ingin menggangsir pasir pantai itu, lalu ketika saya berdiri di tepi, kaki saya akan tersaput oleh air laut, yang ombaknya bergerombol menyanyikan nyanyian lagu pantai. Saya pamit terlebih dahulu.” Obin melambaikan tangannya, hingga bahunya tak lagi dapat saya lihat.

***

Beberapa hari lalu saya mendapatkan pesan dari teman-teman saya. Isi pesan tersebut mengajak saya untuk bisa bertemu dengan teman-teman semasa SMA saya, termasuk Obin.

“Ya, saya bisa.” Saya kadung membalas pesan teman saya dengan grusa-grusu tanpa melihat isi dompet saya terlebih dahulu.

Lalu ketika saya selesai melaksanakan salat zuhur, saya mencoba merayu Tuhan. Kiranya begini, “Tuhan, titipkan permohonan saya, agar hadiah yang salah satunya adalah berupa dana dengan nominal yang belum saya ketahui, supaya segera dapat di tangan saya. Selain itu bukankah Engkau senang dengan makhlukMu yang memanjangkan umurnya dengan bersilaturahim? Maka dengarkanlah pinta saya ini.”

- Iklan -

Lalu ketika saya sedang membuka gawai, betapa saya terkejut dengan pesan dari panitia yang menyatakan bahwa hadiah saya sudah berhasil dikirimkan. Seketika itu saya terkaget dan segera menengadahkan tangan saya sembari mengucap banyak syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena dengan segera membalas titipan saya.

Namun saya sedikit merasa takut, apakah saya telah berlebihan kepada Tuhan, apakah saya telah memojokkan Tuhan sehingga Tuhan merasa iba dengan saya?

Dua tulat kemudian saya bersama Obin bertemu dengan teman-teman semasa SMA yang sudah banyak berubah rupa. Saya tak dapat membendung rasa bahagia saya. Lalu ketika hanya ada saya dan Obin, saya menceritakan bahwa beberapa hari lalu saya tak sengaja memojokkan Tuhan. Saya merasa takut kalau-kalau Tuhan akan marah kepada saya di lain waktu. Namun kata Obin tidak. Tuhan sedang tidak marah.

Namun Tuhan berusaha mengabulkan permintaan saya di waktu yang tepat. Dan mungkin saja kemarin merupakan waktu paling tepat untuk Tuhan dalam mengabulkan doa-doa saya.

Kemudian gawai saya berdering. Bising. Sekali lagi saya melihat ada nomor yang tidak saya dikenal.


Sebuah karya cerpen berjudul ‘Tak Sengaja Memojokkan Tuhan’ oleh Silvi Nur Suhailin


BACA CERPEN LAINNYA DISINI

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU