Takdir

“Vio.. yuk ikut daftar SNMPTN, nilaimu kan selalu bagus. Masa kamu gak mau kuliah si?” katanya.

“Aku gak mau kuliah Riz, aku mau langsung kerja aja. Kamu pasti tau bagaimana kondisi keluargaku.”

“Dicoba dulu aja, lebih baik mencoba kan? Daripada nanti kamu menyesal. Ayo kita ke ruang BK sekarang untuk isi formulir pendaftarannya,” sambung Rizka sambil menarik tanganku

Akhirnya aku mengiyakan ajakan Rizka. Aku memang sangat tidak bisa menolak ajakan dia, sahabat yang selalu ada ketika aku sedang dalam masa sulit, dikala suka dan duka.

Semua data sudah ku isi. Aku tidak berharap banyak pada lembaran itu. Sebenarnya, jauh di relung hati kecilku ada sedikit rasa ingin kuliah, tapi rasa ingin bekerja dan menghasilkan uang lebih besar dibanding itu.

Itulah mengapa aku tidak terlalu berharap untuk diterima di perguruan tinggi. Yang saat ini ku lakukan adalah mencari lowongan pekerjaan. Berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan pekerjaan dan uang, demi mensejahterakan kehidupan keluargaku.

***

Setelah beberapa kali mencoba lowongan pekerjaan dan melewati tahap yang panjang, akhirnya aku diterima di salah satu perusahaan besar di Jakarta. Meskipun aku tau bahwa hanya akan mengisi bagian operator produksi tapi aku sangat senang.

Baca Juga:  Sedang Tidak Mengajar, Guru Bisa Lakukan 6 Kegiatan Ini

Aku sangat senang karena dari sekian banyak pendaftar, aku salah satu orang beruntung yang bisa masuk di perusahaan yang terkenal memberikan gaji besar itu. Aku langsung bergegas memberi tahu orang tua ku akan hal ini. Aku sangat bersemangat karena mereka pasti akan sangat bahagia.

- Iklan -

Tok…tok..tok

“Assalamu’alaikum, Vio pulang,” suaraku bersemangat.

“Wa’alaikumsalam nak. Tidak biasanya kamu sebahagia ini? Ada apa nak?” kata ibuku “Bu, pak, Alhamdulillah Vio diterima bekerja,” kataku lirih.

Serentak ibu dan Bapak menjawab dengan semangat, “Alhamdulillah nak, semoga berkah.”

Suasana haru itu terhenti seketika, ketika hp ku berdering keras. Ada telepon masuk.

Nomor yang tidak dikenal sebelumnya.

“Assalamu”alaikum, maaf ini dengan siapa?” kataku penasaran.

“Wa’alaikumsalam Vio ini pak Abdi guru BK. Bapak mau memberitahukan bahwa kamu lolos di perguruan tinggi negeri nak,” jawab suara lelaki itu diujung telepon.

“Hah.. Vio lolos kuliah Pak? Di perguruan tinggi yang terkenal itu? Pak Abdi serius pak?” kataku.

Baca Juga:  Transformasi Pendidikan Indonesia Pasca-Kurikulum Merdeka



“Iya nak, anak-anak yang lain hari ini datang ke sekolah untuk melihat pengumumannya secara langsung. Tapi Bapak lihat tadi Vio tidak ada jadi bapak langsung telepon nomor kamu,” jawab pak Abdi menjelaskan.

Aku tidak pernah berharap untuk lolos kuliah, maka dari itu aku tidak pernah ingin mencari tau bagaimana dan kapan pengumuman SNMPTN tiba. Setelah beberapa menit berbicara dengan Pak Abdi, lalu ku tutup telepon.

Aku hanya bisa diam. Kacau, saat itu aku sangat kacau. Bagaimana tidak? Aku tidak pernah membicarakan hal ini pada orang tuaku. Aku juga tidak pernah berfikir untuk kuliah dan belajar di perguruan tinggi. Dalam hati aku terus bertanya, mana jalan yang harus kupilih?

Aku coba memandang ke arah ibu dan bapak. Melihat sorot mata kedua orang tuaku. Aku sangat yakin mereka bangga kepadaku. Tapi aku juga tau, sorot mata itupun memancarkan kesedihan mendalam. Mereka pasti berfikir darimana biaya untuk menguliahkan aku. Apa lagi yang harus kami jual.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU