Komunitas Sanggar Kelapa
Makassar, FAJARPENDIDIKAN.co.id – Kota Makassar yang kini telah menjelma sebagai kota metropolitan dengan kepadatan penduduk. Di setiap sudut-sudutnya hampir ditemui gedung-gedung pencakar langit. Atas kondisi itu akan sulit rasanya menjumpai suasana alam yang masih asri layaknya sebuah perkampungan di pelosok.
Namun nyatanya tidak demikian, kita masih bisa menikmati keindahan lingkungan yang begitu alami. Keindahan itu akan kita temui di Kelurahan Lakkang, Kecamatan Tallo. Di sana, ada sungai, ada sawah, empang dan semuanya tertata dengan rapi. Hembusan udaranya mampu mendamaikan jiwa.
Kealamian lingkungan yang masih tersimpan di Lakkang itu dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk memperkenalkan kepada anak-anak usia sekolah (SD-SMP) bahwa alam pun bisa dijadikan sebagai sebuah media pembelajaran; media untuk berkreativitas tentunya dengan tidak melukai alam dengan perbuatan-perbuatan yang tak terpuji.
Melalui komunitas Sanggar Kelapa, cita-cita dari Abd. Kadir Jaenlani, Ikhsan Nugraha, Asran Salam dan Muhajir untuk mendirikan sekolah alam dan memberikan sesuatu yang bernilai kepada daerah asal, akhirnya bisa terwujud.
“Kebetulan saya asli Lakkang. Dan kami berempat ini memang basic-nya dari pendidikan. Waktu itu saya dan Ikhsan berkesempatan keliling Jawa untuk melihat sekolah alam di sana. Sepulang dari sana, kami kepikiran untuk buat sekolah alam,” cerita Uje sapaan akrab dari Abd. Kadir Jaenlani.
“Ini juga tidak terlepas dari keresahan kami. Melihat kondisi pendidikan formal yang kurang mampu mengakomodir alam sebagai ruang belajar dan berkreativitas. Dan bagi kami, ruang belajar paling efektif adalah alam,” ungkapnya.
Selain berbagi kepada anak-anak, sambungnya, kami juga hendak memerlihatkan kepada anak-anak bahwa belajar itu bukan sekadar di ruang kelas dengan bangku dan papan tulis. “Di alam bebas pun mereka bisa bermain, bisa belajar dan bisa memaksimalkan kreativitas mereka. Ini juga bentuk pengabdian pada kampung saya,” katanya.
Sanggar Kelapa adalah sekolah non-formal yang didirikan bulan April tahun 2013. Anak-anak yang belajar di Sanggar Kelapa bukanlah anak-anak yang putus sekolah. Oleh karena itu, kehadiran Sanggar Kelapa bukanlah sebagai pengganti peran sekolah formal tapi sebagai wadah pembelajaran dengan memanfaatkan alam untuk belajar dan berkreativitas. Proses belajarnya pun dilaksanakan di hari Minggu. Di setiap pertemuan, ada karya yang dihasilkan oleh anak-anak, seperti lukisan dari pasir, lukisan dari daun kering, baju dari bahan daur ulang dan sebagainya.
Hingga memasuki tahun keempat, Sanggar Kelapa telah memiliki dua kelas yang dibagi menjadi, kelas pertama usia SD sebanyak 17 orang dan kelas kedua usia SMP sebanyak 15 orang. Tujuh pengurus inti dan 16 sukarelawan. Mengusung konsep tematik dan dipadupadankan dengan metode bilingual (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).
“’Kan pembelajarannya tematik, kalau misalnya masuk tema lingkungan, kami bekerjasama dengan anak-anak Mapala untuk mengajarkan bagaimana cara menanam pohon dan merawatnya. Begitu juga kalau masuk tema kesehatan kami bekerjasama dengan mahasiswa kedokteran untuk mengajari anak-anak bagaimana pola hidup sehat dan menjaga kesehatan,” jelas Uje.
Tema-tema yang diajarkan, seperti: lingkungan, mengenal diri, cita-citaku, menanam, menjaga kesehatan, dan lain-lain. Tema-tema ini kemudian dipecah menjadi beberapa sub tema.
Setelah cukup banyak mengorek-ngorek tentang Sanggar Kelapa, kruFAJAR PENDIDIKAN pun penasaran dengan makna di balik pemilihan nama Sanggar Kelapa.
“Filosofi Kelapa, dek,” jawabnya. Bagi alumnus SMA Negeri 6 Makassar ini, filosofi hidup ala pohon kelapa benar-benar mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu harus berguna untuk siapa saja. Bahwa apapun yang dimiliki di dunia ini, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Bahwa apa pun kondisi tubuh kita, baik lengkap maupun tidak lengkap, baik sempurna maupun tidak sempurna. Baik sedang dalam kondisi sehat maupun sakit, semuanya harus bermanfaat.
Pendekatan dengan Permainan Tradisional
Kata Uje, tidak terlalu sulit baginya dan teman-temannya ketika memperkenalkan Sanggar Kelapa kepada anak-anak di Lakkang. Hal ini karena Lakkang merupakan kampung halamannya Uje. Selain itu juga, Uje dan teman-temannya memanfaatkan permainan tradisional untuk melakukan pendekatan kepada anak-anak.
“Awal-awal itu, untuk kumpulkan anak-anak kami mulai dengan permainan tradisional dan membuat karya. ‘Kan di sana anak-anak kalau sore, suka bermain-main. Jadi kami mengakomodir waktu mainnya dengan bermain permainan tradisional,” jelas Uje.
Setelah proses pendekatan berhasil, kemudian pengurus dan para sukarelawan Sanggar Kelapa memulai proses pembelajaran dengan membagi anak-anak ke dalam beberapa kelompok. “Setiap pertemuan itu ada koordinator pembelajaran. lalu anak-anak dibagi menjadi kelompok. Pengelompokkannya tergantung materinya kadang dikelompokkan berdasarkan kelas ataukah di random (diacak) setiap kelompok ada relawan yang menjadi pendamping belajarnya,” papar Uje.
Jadi, lanjutnya, setiap proses pembelajaran dimulai, siswa diajak untuk menuliskan pengalaman atau kejadian berkesan yang mereka lakukan selama semingggu. “Anak yang dulunya hanya bisa menuliskan pengalaman hanya lima kalimat, kini bisa sampai satu halaman. Ini merupakan latihan untuk memantik daya ingat dan melatih menuangkan isi pikirannya dalam bentuk tulisan,” tutur Uje.
Meski demikian, apa yang dilakukan Sanggar Kelapa tak luput dari kendala. Salah satunya, sulit untuk menyesuaikan materi dan cara mentransfer ilmu agar anak-anak mudah memahami. “Kalau kendalanya, inikan anak SD yang diajar dari kelas 1-6 menyatu dalam satu kelas. Otomatis kami biasa menemukan kesulitan untuk menyesuaikan materinya. Bagaimana satu materi bisa diajarkan kepada kelas yang heterogen,” ungkapnya.
Terlepas dari semua yang telah diusahakan dan dilakukan pengurus dan para sukarelawan Sanggar Kelapa, Uje tetap berharap Sanggar Kelapa bisa menjadi ruang belajar untuk anak-anak sekaligus mangakomodir naluri bermain dan mengasah potensi yang dimiliki anak-anak sehingga bisa menjadi ruang belajar yang mendekatkan anak-anak pada lingkungan kesehariannya. (FP)