Terasing

“Apakah daging babi menjadi halal, bila dimakan atas rida orang tua?” kau diam tak menanggapi pertanyaanku.

Ada raut kesal di wajahmu, kau berusaha menutupinya dengan senyum simpul di depanku.

Seperti mereka, kau menatapku hanya sebatas raga. Tak mampu menembus jauh ke relung jiwa. Meski kita bersaudara, jalan hidup kita berbeda, perbincangan kita sering tak searah, ini juga soal prinsip hidup kita yang tidak sama. Sebelum kejadian itu, kita masih suka saling bercerita, bertukar pikiran dan sesekali menikmati kebersamaan.

Lima hari berlalu, aku seperti burung dalam sangkar yang dikunci dari luar. Di malam keenam, kau mendatangiku ke kamar, memberi kabar bahwa besok lusa kau hendak bertunangan.

Bapak dan ibu yang semula kecewa, kini kembali ceria, wajah mereka terlihat sumringah mungkin juga bangga dan bahagia. Itulah sebabnya kau mengatakan bahwa pertunanganmu itu adalah hiburan buat mengobati luka di hati mereka.

Di balik pintu rumah ini, aku melihat jejakmu yang kerap menabur decak kagum di hati kedua orang tua, kerabat dekat dan para tetangga. Di sini, aku belajar dengan metode terbalik.

Ada kesimpangsiuran pemahaman dan keegoisan yang bersarang cukup kuat. Tak mudah kupatahkan hanya dengan berkata bahwa itu salah. Keteguhanku pada sebuah pilihan adalah kesalahan besar bagi mereka dan telah melemahkan posisiku sebagai anak sulung dalam keluarga.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU