Dan aku cukup menjadi saksi, di mana orang-orang hanya mengatakan apa yang mereka tahu, tetapi tidak mengetahui apa yang mereka katakan.
***
Sekitar dua tahun yang lalu, tepat di saat aku baru saja lulus kuliah, aku menyampaikan niat baiknya pada bapak dan ibu. Di saat itu juga, mereka menolak, tidak mendengarkan setiap pendapat yang kututurkan dengan harapan mendapatkan restu.
Beberapa bulan kemudian, lamaran itu kembali datang. Sekali ditolak tidak menjadikannya putus asa. Aku terus berharap dalam doa. Namun semuanya kembali pada realita.
Batinku tersiksa. Mimpi untuk hidup bersamanya seolah patah, tak ada sayap untuk terbang jauh ke angkasa, melintasi setiap samudera, menikmati indahnya jagad raya. Cukup lama aku enggan bertutur kata, memilih diam dalam kebisingan suara-suara yang tak lain adalah penolakan dan peringatan.
Waktu terus berjalan. Rasa jenuh membuatku tak lagi mempersoalkan hal yang sudah terlewat. Hidup mengalir mengikuti takdir. Menerima meski tidak menyerah. Merajut hidup dengannya masih terus kurapal dalam doa. Menanamkan tawakal, mengerahkan segala ikhtiar.
***
Kau tau, profesiku sebagai pengajar adalah cita-citaku sejak masih sekolah. Kini cita-citaku tercapai, menjadi guru sebagaimana mimpiku sejak dulu. Bapak dan ibu memberikan sebuah motor yang meringankan bebanku agar ke sekolah datang tepat waktu.
Tidak hanya mengajar, sebagai sosok yang mempunyai komitmen hidup mandiri, aku menjalankan bisnis online kecil-kecilan, untuk menunjang kebutuhan sehari-hari.
Jiwa pebisnis dalam diriku adalah turunan dari bapak. Setiap hari, aku selalu antar jemput orderan, untung kalau masih dalam satu kecamatan, terkadang hampir sampai ke area kota.
Suatu ketika, kau tak ada di rumah. Katanya, kau sedang ada acara bersama teman-temanmu, entah di mana. Aku menjalankan rutinitasku. Pagi mengajar, siang sampai sore mengantar pesanan ke area kota.
Karena jarak yang lumayan jauh, rasa haus membuatku berhenti sejenak tepat di salah satu warung makan sekadar memesan minuman segar.
Di salah satu meja, di pojok teras warung itu, aku melihatnya duduk seorang diri. Siapa yang tak bahagia bertemu sang kekasih? Serumit apa pun masalah yang dihadapi, tak ada yang bisa menghalangi hasrat di hati untuk terus tumbuh dan berkembang dari hari ke hari.
Di tengah jalanan kota yang ramai dengan lalu lalang kendaraan, kami menikmati kebersamaan, mengelilingi jalan lingkar, melewati perempatan terminal Arya Wiraraja.
Aku merasakan beban hidupku terasa ringan, keresahan dalam diri terasa lebih tenang dan damai.
Ingin rasanya jarum jam berhenti berputar agar malam tak segera datang. Bagiku, mencinainya adalah kekuatan dan hasrat untuk hidup bersamanya menjadi suatu keharusan.
Malam harinya, suasana di rumah terasa beda. Seperti biasa aku enggan bertanya. Hingga larut malam, sebelum aku benar-benar terlelap, bapak mengetuk pintu kamarku, lebih keras dari biasanya.
Ia memanggilku ke ruang tengah. Di sana sudah ada ibu yang menunggu. Aku duduk di antara mereka, dengan hati berdebar dan tak bisa menerka apa yang hendak mereka katakan.