Aku kaget bukan kepalang. Mereka mengintrogasiku tentang kebersamaanku denganya tadi siang. Aku tak bisa mengelak dari kebenaran yang mereka ketahui, entah melalui sumber yang mana.
“Apa kamu tidak tahu bagaimana hukumnya kalau perempuan bonceng pada laki-laki yang bukan mahram?” Suara ibu meninggi, tatapan tajamnya menusuk ulu hati.
Aku menunduk diam. Berada di tengah-tengah mereka, serasa berada di ruang pengadilan. Tak ada satu suarapun yang berusaha mengelus keresahan hatiku saat itu.
“Apa kamu mau jadi anak durhaka, menentang keinginan orang tua, hah?” Nada suara ibu semakin tinggi, luka di hati terasa semakin perih.
“Kalau orang tua sudah tidak merestui, berarti dia bukan jodohmu. Bukannya sudah jelas, kalau rida Tuhan berada dalam keridaan kedua orang tua!” Bapak menguatkan pernyataan ibu. Seketika saja, aku merasa terasing di rumah ini.
Saat itu, kau bersembunyi di balik dinding kamarmu, menyaksikan kemarahan yang menyembur seperti api yang membakar ketenangan dan kedamaian di hati.
Ada bulir kecil yang jatuh dari sudut matamu yang basah. Kau menghampiri ibu yang sesenggukan dan ikut metatapku geram, tanpa sedikitpun berusaha menyapa hatiku yang tengah terluka.
Sejak itulah, larangan dan aturan mulai diterapkan untukku. Setiap aku pergi selalu dikawal seperti tahanan yang menjalani hukuman.
Hidupku terkekang, meski aku sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan. Tak ada kesempatan bertemu dengannya lagi, sekadar mengangkat telepon atau balas chat, aku harus siap diceramahi oleh mereka yang mengawasi.
***
Hari itu, kau resmi bertunangan dengan lelaki pilihanmu yang sesuai dengan selera bapak dan ibu. Kau terlihat semakin pandai bersolek, memoles mukamu dengan aneka make up kecantikan. Aku sering mendapatimu berdiri lama di depan cermin, memperbaiki lipstick di bibirmu, sesekali kau setengah memejamkan mata untuk memastikan eyeshadow yang kau poles dengan tipis, masih terlihat cantik dan menarik.