Terlahir Sementara

Kau sudah hadir nak, selamat datang di dunia impian. Rasa senang yang amat mendalam tatkala suara tangisan pertamamu menjerit dengan keras, “Alhamdulillah akhirnya kamu selamat” pikirku dalam hati. Tangis bercampur haru menyelimuti rasa yang tak terbendung betapa beruntung aku didunia ini.

Meskipun kau bukan yang pertama tapi predikat istimewa tentu menempel atas hadirmu. Hari-hari Bahagia kau lewati hingga Tuhan memberi ruang untuk bermetaformosa hingga kini kau sudah berusia 2 tahun.

Wajah yang manis lengkap dengan bulu mata yang begitu lentik dan kilauan bola mata indah berbinar mampu menawar luka pada kondisi rumah yang hampir setiap harinya adalah pertikaian. Ulah bapakmu yang emosional dan sikap ibumu yang keras kepala hamper tidak pernah menghadirkan harmonisasi keluarga.

Dari pagi hingga pagi lagi tidak pernah terdengar suara kasih sayang melainkan suara teriakan, pecahan piring, bahkan bunyi benda yang meletup-letup pada lantai. “Lebih baik saya pergi dirumah ini” ujar Endang. Endang memutuskan pergi ke rumah ibunya, sedangkan Aan juga memutuskan pergi lebih jauh lagi.

Bagaimana nasib Indira anak mungil yang sedang membutuhkan keharmonisan mereka. “Aku harus mengambil tindakan, Indira harus mendapatkan kasih sayang kalau bukan dari orang tuanya berarti aku harus merawatnya” Ujarku dalam hati.

Endang dan Aan memilih pergi meskipun belum pada tahap perceraian. Karena keterpurukan ekonomi Aan bekerja keluar Negeri dan dan Endang tetap pada pendiriannya yang sama-sama meninggalkan Indira. Kamu harus tumbuh seperti anak-anak yang lainnya Nak, “sambil mencium kening Indira”. Rasa sedih menggelayut dalam hatiku apakah Indira akan terlentar dengan asuhan orangtuanya sementara Aku masih harus menyelesaikan semester akhir kuliah.

Karena tuntutan akademik saya harus kembali ke tempat pengabdian meninggalkan Indira yang terpaksa harus ku alihkan pengasuhan kepada Ibu dan Bapakku. Selamat tinggal sayang, Bunda masih harus berjuang “bisikku pada telinga Indira”. Sengaja ku biasakan Indira memanggil Bunda agar ia tetap merasa bahwa ia masih memiliki Ibu.

Selang beberapa bulan Endang kembali kerumah merawat Indira. Kabar Bahagia yang ku dapatkan dari medan perantauan. “Alhamdulillah Indira sudah kembali kepangkuan ibunya” Ucap mama saat menelfonku. “Semoga kamu baik-baik saja Nak, tumbuhlah menjadi anak yang baik” titip kata untuk Indira.

Rasa tenang menghampiriki dimana aku juga harus fokus menyelesaikan kuliah. “Indira sudah kembali kepangkuan Ibunya tapi kenapa rasa khawatirku masih terlalu tinggi kepadanya, apakah dia diurusi dengan baik, apakah makanannya diurus dengan baik, apakah dan apakah.. aduuhh kenapa aku jadi begini jelas dia pasti lebih tenang bersama ibunya” gejolak batinku mulai meningkat. Sudahlah lebih baik saya menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk sambil menikmati dinginnya angin malam di teras rumah.

- Iklan -

Semester demi semester sudah terlewat bulan depan saatnya KKN, sebelum berangkat aku harus pulang menemui gadis kecilku dikampung. “Indira tunggu bunda pulang nak” semangat ku semakin membara.

Aku harus membelikan Indira hadiah yang banyak setiap pulang kampung memang sudah ku sisipkan uang beasiswaku untuk memberi hadiah pada anak-anak dikampung. Tuuuuuuttt, tuuuttt, bunyi nada dering HP ku di tas “sudahlah nanti saja aku jawab”. Tuuutt, tuuuutt lagi-lagi HP ku berdering, terpaksa aku harus berhenti ditengah jalan menjawab telfon yang dari tadi sudah berbunyi. Kulihat HP ku ternyata telfon dari Ibu.

“Assalamu ‘alaikum warahmatullah, iye kenapa kiMama ?” Tanyaku singkat. “Dimana makiNak ?” jawab Ibu.

“Masih dijalan ka Ma” ujarku.

“Ohh. Kalau begitu hati-hati dan cepatlah sampai” jawab Ibu. “Iye’Mama saya sudah diperjalanan” Jawabku lirih

Usai menjawab telfon, tanganku terasa lemas rasanya tak sanggup lagi menyetir motor. “Sepertinya ada kabar yang ingin ibu sampaikan, kenapa rasa cemasku meningkat apakah sesuatu terjadi pada Indira ?” Tanyaku dalam hati. Nama Indira semakin terngiang-ngiang menyertai perjalananku melintasi rute jalan yang begitu terjang hingga akhirnya aku sudah sampai didepan rumah.

Suasana rumah begitu hening, kulihat didepan rumah beberapa tetangga berdatangan, di teras rumah ada hembusan asap kemenyang spertinya sedang ada ritual dirumah. Dengan Langkah pelan aku masuk kerumah. “Dag..diig..duug” gemetaran, denyut jantungku begitu kencang tatkala melihat didepan mataku si kecil yang sedang ditimang ibunya dalam kondisi yang tidak ku tahu dia sedang kenapa.

Serasa terputus sendi-sendi tulangku, seakan berhenti aliran darahku, keringat dingin bercucuran, air mataku berderai. Tak ada lagi si mungil menjemput hadiah dari tentengan ku, tidak ada lagi yang berlari merentangkan tangannya dengan teriakan bunda. Hancur, hancur, hancurlah semunya.

Mencoba menghela nafas agar tidak berlarut pada keadaan. Indira masih ada, hanya saja dia tidak seceria dulu lagi, bahkan satu kata pun tidak pernah terucap dari bibir manisnya karena menahan sakit yang sampai saat ini masih kelabu.

“Sebenarnya Indira sakit apa selama ini ?” tanyaku pada ibu. “Dia sering demam tinggi sampai kejang” jawab ibu. “Innalillah sejak kapan begitu Ma ?” tanyaku panik. “sebenarnya sudah 2 bulan” jawab ibu.

Aku semakin tertekan dikelilingi rasa bersalah yang begitu besar. “Kalau begitu kita harus bawa ke dokter untuk berobat segera” pintaku pada Endang. “Tidak usah bawa ke dokter karena di sini juga sudah di obati sama pak Dukun” jawab Endang. “Tidak, sakit seperti ini harus dikonsultasikan ke dokter apalagi jika sudah sering kejang takutnya terkena epilepsi”. Ujar ku kembali. “Biarkan saja dulu kita lihat hasilnya sampai tiga hari ke depan, yang obati juga adalah Dukun terpercaya” balas Endang.

Lagi-lagi pertarungan ideologi kembali memanas tatkala aku dan keluargaku saling berargumen soal pengobatan Indira. Ya, memang mereka masih sangat tabuh akan beberapa kondisi berbahaya bagi Indira. “lagian kalau mau dibawa ke dokter dan harus masuk rumah sakit siapa yang mau tanggung biayanya pasti mahal kan ?” ujar Endang. “Baiklah” jawabku lirih. Tiba pada hari ke tiga tapi tidak ada perubahan terhadap kondisi Indira.

Tanpa berpikir panjang aku pergi ke tetangga memberanikan diri untuk pinjam uang dengan modal nekat tanpa jaminan apapun. Aku harus bawa Indira ke dokter hari ini juga, setidaknya aku harus bertindak sebelum penyesalanku semakin besar.

Aku berhasil membawa Indira ke dokter ditengah kondisi yang cukup kritis, dokter memanggilku ke ruangan khusus menerangkan keadaan Indira yang cukup membuat kembali pada kondisi awal saat datang kerumah. Sakit rasanya mendengar kalimat dari dokter.

“sepertinya Anda harus banyak berdo’a dan bersabar” ujar dokter. “Bagaimana maksudnya dok ?” tanyaku

“Masih ada kemungkinan tapi kecil, dan kita coba masukkan di ruang ICU untuk pemasangan alat-alat bantu” jawab dokter.

“Lakukan yang terbaik dok apapun itu” pintaku sambil menangis. “Kami tetap berusaha keras, tapi..” ujar dokter.

“Tapia apa dok ?” tanyaku lebih tegas.

“Batang otaknya sudah mati, karena kekurangan oksigen yang masuk akibat terlalu sering kejang dan tidak mendapatkan penangan segera, adapun jika kemungkinan besar terjadi Indira tidak akan hidup normal seperti dulu lagi” jawab dokter.

Malaikat kecilku yang aku cintai, sependek itukah kesan indah yang kau lukiskan untuk bunda ? Jauh dari espektasiku sebelumnya bahwa kau hanya terlahir sementara.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Terlahir Sementara’ oleh Rosnani yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU