Sudah dua tahun lamanya, pandemi COVID-19 melumpuhkan seluruh aktivitas manusia di muka bumi.
Tidak terkecuali dengan Indonesia, yang notabene didominasi oleh 71% penduduk usia produktif, yakni pada rentang usia 15 hingga 64 tahun.
Pembatasan jarak antar manusia kerap dilakukan ketat dengan berbagai tingkatannya, seperti istilah Physical Distancing, Lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Keramaian sekolah, hiruk pikuk pasar, dan kemacetan jalan sekejap hilang. Seluruh pekerja, siswa-mahasiswa, dan pedagang dipaksa pulang.
Kita lalu diperkenalkan dengan Work From Home dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Seperti kisah siswa satu SMP yang baru mengenal lingkungan remaja terkurung di rumah hingga tiba-tiba harus menghadapi ujian akhir.
Kita semua bagaikan 50% penduduk bumi yang dilenyapkan oleh Thanos, kemudian kembali dengan suasana asing bahkan tidak sedikit kehilangan orang tersayang.
Menghadapi kondisi dunia yang kembali sehat, seluruh masyarakat, khususnya pelajar, pasti menghadapi suatu hal yang asalnya terbiasa menjadi asing.
Terbiasa oleh jarak yang memisah, kita seakan canggung untuk sekadar menyapa teman yang seharusnya sudah menjadi bagian dari perjalanan hidup kita selama dua tahun ini.
Komunikasi dan sosialisasi bersama teman pun menjadi tidak se akrab sebelumnya.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Aswat dkk., kurangnya interaksi antar siswa akan menyebabkan berkurangnya kecerdasan emosional anak (2021:768).
Kecerdasan emosional yang berkurang akibat minimnya interaksi tersebut tidak hanya berlaku pada anak, akan tetapi orang dewasa pun akan mengalami hal yang sama.
Sejalan dengan pendapat Thaib, yang mengatakan bahwa selain proses belajar, lingkungan sangat berpengaruh dalam membentuk kecerdasan emosional (2013:397).
Maka dari itu terjalin nya interaksi sangatlah penting.
Kecerdasan emosional ini nyatanya amat sangat diperlukan di tengah kegentingan pandemi.
Salah satunya adalah sikap empati. Pada masa pademi, sikap empati sangat diperlukan dikarenakan dukungan dari lingkungan dapat meningkatkan imunitas secara psikis, hubungan sosial dan membantu meredakan kesulitan yang sedang dirasakan (Izzati, 2021:88).
Berlangsungnya pandemi dan pembatasan sosial mengakibatkan interaksi manusia terhambat, sehingga masihkah ada rasa empati yang ada pada diri kita?
Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Khususnya bagi seluruh pelajar Indonesia, yang selama pandemi ini dipaksa duduk berjam-jam di depan layar smartphone dan laptop.
Semalaman suntuk mengerjakan tugas, tidak sempat bercengkerama dengan teman, dan membatasi diri kita dari urusan orang lain membuat diri kita bodo amat —acuh tak acuh.
Sebagian orang agaknya lebih memilih untuk bersantai dari lelah dan stress dengan caranya sendiri daripada mencoba untuk berinteraksi dengan orang lain, meskipun melalui media sosial.
Akan tetapi, seberapa lama pun proses interaksi masyarakat melalui media sosial tidak akan se efektif dengan interaksi tatap muka. Apalagi dengan orang baru yang kita kenal melalui
orientasi mahasiswa baru misalnya, tidak semena-mena kita bisa berbagi kisah kehidupan kepada orang asing melalui media sosial tanpa tahu seperti apa ia di kehidupan nyatanya.
Ini menjadi ketakutan terbesar bagi sebagian pelajar atau mahasiswa baru yang harus beradaptasi dengan orang lain di tengah menyebar-nya virus Corona tersebut.
Tidak jarang komunikasi yang terjalin antar pelajar dan mahasiswa baru hanya berlaku saat tugas kerja kelompok saja.
Namun tidak sedikit pula orang yang mampu bersosialisasi dengan baik bersama teman dunia maya, akan tetapi, bukan suatu hal yang asing bahwa isu ketidakpercayaan dan rasa tidak percaya diri sesekali menghinggapi benak pelajar dan mahasiswa online.
Dari isu ketidakpercayaan ini, kita merasa was-was untuk menjalin pertemanan bahkan hubungan melalui udara.
Dalam media sosial, kita tidak merasakan kehadiran lawan interaksi. Bahkan satu hal krusial yang membuat diri kita semakin minim interaksi di masa pandemi ini adalah overthinking.
Kita selalu memikirkan bagaimana jika orang yang kita temui dalam kuliah online ini membenci kita pada tatap muka nanti.
Sehingga, mungkin sekian dari banyak pelajar dan mahasiswa memilih untuk tidak terlalu aktif berinteraksi secara intim dalam proses pembelajaran daring.
Banyak pelajar yang hingga dua tahun ini belum memiliki teman dekat atau sahabat di sekolahan nya.
Tiga faktor tadi cukup membuat mereka, bahkan kita, menghindari diri dari interaksi sehingga rasa empati pun sekiranya tidak akan sebesar yang masyarakat harapkan.
Referensi
Aswat, H., Sari, E.R., Aprilia, R., Fadli, A., dan Milda. (2021). Implikasi Distance Learning di Masa Pandemi COVID 19 terhadap Kecerdasan Emosional Anak di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 5(2), 768.
Izzati, F.A. (2021). Pentingnya Sikap Toleransi dan Empati dalam Mewujudkan Warga Negara yang Baik (Good Citizenship) di Masa Pandemi. Jurnal Kalacakra, 2(2), 88.
Thaib, E.N. (2013). Hubungan Antara Prestasi Belajar dengan Kecerdasan Emosional. Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA, 13(2), 397.