Tuhan Mati di Kamar Zamroni

Usia Tuhan tidak panjang lagi. Setidaknya itu yang aku yakini malam ini. Wanita yang kini berdiri di depanku dengan jarak selebar dua langkah kaki itu menjadi sangat pendiam. Aku mencoba meraba gurat perasaan di balik kaos merah ketatnya.

Kepalanya adalah benang kusut yang gagal aku pintal. Kendati begitu, aku merencanakan malam ini demi jiwaku yang sehat. Jadi aku menunggu sampai kapanpun dia siap.

Di balik punggung yang tertutup rambut panjang itu, aku melamuni satu nyawa yang sudah terbang ke ‘Arsy. Bertemu malaikat penjaga yang suci dan besar. Jarak pundak dengan telinga malaikat itu setara perjalanan burung terbang selama 700 tahun.

Dalam hati aku mengeja doa, semoga nyawa itu tidak tersesat sebab jagad terlalu luas sampai tidak masuk akal. Dan satu lagi yang tidak masuk akal adalah sikap Tuhan terhadapku.

Istriku yang begitu kusayangi dicabut nyawanya tiga bulan lalu. Aku pernah berkata jika rela menanggung sakit sakaratul mautnya. Entah dulu aku melakukan kebaikan apa sehingga Tuhan memutuskan akulah pasangannya.

Setiap hari napasku menghembus rasa syukur sembari mengamatinya. Sepanjang hidupnya bersamaku, tak pernah dia berbicara dengan nada yang lebih tinggi dari suaraku.

Pernah satu waktu saat hujan turun deras, aku pulang dari mengisi pengajian di salah satu rumah warga dengan pakaian sedikit basah dan kaki yang meninggalkan jejak coklat di lantai. Istriku melihatnya dan buru-buru melepas jilbab.

Wangi rambutnya menguar menabrak wajahku. Kain itu lantas di taruh di depanku. Aku disuruh menginjaknya khawatir terpeleset karena kakiku penuh sisa air dan debu. Senyumku terbit. Senyumnya menyusul. Aku dekatkan badanku lalu kukecup keningnya. Alisnya bertemu di antara mata sejuk miliknya. Kecupku turun ke bibir.

Aku kenal istriku lima tahun lalu. Saat itu ada acara khataman Al-Qur’an untuk syukuran rumah baru salah satu kolega. Aku memang cukup tersohor di masyarakat. Meskipun usiaku masih muda, aku keturunan kyai ternama di kota. Dia menunduk di samping ibunya. Membawa kitab kecil sampul hijau. Bacaannya lancar dan fasih.

- Iklan -

Sampai sekarang aku masih ingat jelas suara merdunya atas kalam Tuhan itu. Demi aku berhari-hari memikirkan dia, kudatangi rumah orang tuanya. Memberi tahu maksud baikku untuk sempurnakan ibadah. Orang tuanya tak ada keraguan menerima, pun dia. Mendapat mantu seorang ustadz masih bisa jadi suatu kebanggaan ternyata.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU