Menggoyangkan badannya dan memanggil dengan beragam panggilan berulang kali sampai suaraku bergetar. Bibirnya warna pucat pasir. Tangannya dingin seperti udara pegunungan. Dengan gerakan cepat, tanganku mengecek hembus napasnya. Nihil. Istriku malang sekali. Aku melamun dan wajahku mengkerut menahan tangis yang pecah kemudian.
Sesak dadaku bertambah kala kusadari wajah istriku seteduh beringin di tengah lapangan. Seolah menyuruhku memborong ikhlas kepada Tuhan. Bahkan kematian dengan banyak persiapan akan tetap tak mudah diterima.
Aku membenci diri sendiri dan Tuhan karena waktu itu cuma Dia yang ada di kamar dengan istriku. Cuma Tuhan yang tahu istriku bakal mati dan Dia tak memberi firasat apa-apa lebih dulu. Aku mendendam. Aku marah dan sangat terpuruk. Aku sedih hingga merasa ingin gila. Jangan pernah percaya jika katanya ikhlas mudah didapat dengan melupakan.
Saban hari sedikit demi sedikit aku menguji Tuhan. Bagaimana jika aku tak taat lagi dengannya? Sebab saat aku taat justru Dia mengambil manusia tercinta dari pandangku. Aku tak setulus dulu dalam beribadah.
Aku tak percaya susunan doa dari siapa saja. Hidupku kini penuh kepalsuan. Bijak dan panutan di mata orang, berandalan di balik pintu kamar. Namun sesekali aku masih tetap kepikiran Tuhan. Sampai suatu malam aku benar-benar ingin membunuh-Nya. Membalaskan dendam.
Wanita di depanku itu hasil sejam aku memilih. Aku memang mencari yang rambutnya paling mirip mendiang istriku demi kenyamananku menghabiskan sepanjang malam. Singkat cerita, wanita itu kaget mendapati wajahku di atas ranjang yang akan kita gunakan bersenang- senang.
Dia teramat ragu dan kebingungan sampai berjalan mendekati jendela. Mungkin udara kamar ini mendadak pengap dan dadanya menjadi sesak. Takut. Tak menyangka. Wanita itu membelakangiku yang was-was menyembunyikan senjata untuk membunuh Tuhan. Rambutnya kubayangkan milik istriku. Aku menunggu sampai dia siap.
“Ayo, Pak Ustadz.” Satu ucapan yang kunanti sepanjang malam ini akhirnya keluar.
Wanita itu sudah siap nampaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya sudah tidak perlu dijelaskan lagi.
Penulis : Titah Ulfiani