Makassar, FajarPendidikan.co.id – Universitas Hasanuddin (Unhas) bekerja sama dengan The Australia-Indonesia Centre (AIC) dan Rumahta Artspace menyelenggarakan International Symposium Makassar-Nothern Australia: An Enduring Relationship di ruang Senat lantai 2 Gedung Rektorat Unhas, Senin, 3 Desember 2018.
Simposium ini mengeksplorasi hubungan sejarah antara nelayan Makassar dan kelompok Yolŋ yang berada di wilayah Australia Utara. Kelompok suku Yolŋ adalah salah satu kelompok etnis Aborigin, penduduk asli Australia. Pelayar suku Makassar dan kelompok orang Yolŋ dipercaya telah memiliki hubungan dan kontak pada tahun 1700-an. Sehingga, melalui simposium ini hubungan dan interaksi kedua etnis tersebut ingin dibangun kembali melalui program pertukaran seni dan budaya, yaitu Makassar-Yirkalla Artist Exchange Program.
Program pertukaran seniman ini disponsori oleh AIC, difasilitasi oleh Rumahta Artspace dan University of Melbourne. Dalam program tersebut Australia mengirim tiga seniman Yolŋ ke Makassar, yakni Dio Marimunuk Gurruwiwi, Barayuwa Munuŋggurr, dan Arian Pearson. Ketiga seniman Yirrkala, Australia Utara ini dihadirkan untuk bertemu dan berdiskusi tentang hubungan orang Aborigin dan Makassar. Dalam kesempatan ini pula, komunitas seni dan budaya Rumahta menghadirkan tiga seniman asal Makassar, yaitu Adi Gunawan, Muhammad Rais, dan Nurabdiansyah.
Kegiatan simposium internasional ini dihadiri oleh Rektor Unhas, Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu MA; Ketua Australia-Indonesia Centre, Harold Mitchell AC dan Konjen Australia di Makassar, Richard Mathews. Selain itu, hadir pula pembicara asing dan lokal yakni, Head Wilin Centre; Victorian College of The Arts; University of Melbourne; Associate Professor Richard Frankland; Associate Director Victorian College of The Arts; University of Melbourne, Dr Danny Butt, serta Direktur Rumahta Artspace, Dr Lily Yulianti Farid dan dosen UNM, Dr Halilintar Lathief, MPd.
Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu menyambut baik acara simposium tersebut. Ia mengatakan kemajuan ilmu pengetahuan menuntut untuk lebih sadar dalam mengkaji dan memecahkan masalah global. “Kita harus berkolaborasi satu sama lain dalam menghadapi berbagai masalah tersebut, tak terkecuali dalam pertemuan ilmiah ini,” kata Dwia.
Prof Dwia berharap, simposiun ini menjadi momen bertukar gagasan, pengalaman, dan hasil riset. “Indonesia dan Australia adalah dua negara bertetangga. Keduanya juga berada di kawasan Asia Pasifik. Indonesia dan Australia juga punya hubungan sejarah, dimana Suku Bugis-Makassar dan Aborigin telah menjalin kontak. Saya percaya, hal ini dapat mempererat hubungan keduanya,” terangnya.
Ketua AIC Harold Mitchell AC menyatakan terima kasihnya kepada berbargai mitra yang telah menyukseskan acara ini. Ia mengatakan, masih terkesan dengan pernyataan Presiden Prancis, Jacques Chirac, 20 tahun lalu, yang mengatakan orang Aborigin adalah manusia pertama di dunia. “Karenanya saya merasa terhormat berada di Makassar untuk membahas persaudaraan orang Aborigin dan masyarakat Makassar,” kata Mitchell.
Dalam kegiatan ilmiah ini dua pembicara dari Universitas Melbourne mengulas tentang keberadaan masyarakat Aborigin di Australia pada masa lampau, kini, dan akan datang untuk mengenalkan pada peserta yang hadir tentang kondisi dan eksistensi penduduk asli Australia tersebut. Sementara itu, pembicara lokal yang diwakili Lili Yulianti Farid dan Halilintar Lathief membahas tentang kondisi dan perkembangan seni dan budaya Makassar, serta berbagai inisiatif dan program yang dilakukan untuk menguatkan keberdadaan identitas seni dan budaya Makassar.(Rls)