Islam bukan saja mengajarkan untuk membangun pribadi yang baik, tetapi juga untuk membangun masyarakat yang baik. Pribadi yang baik sering disebut sebagai kesalehan individu, sementara masyarakat yang baik sering disebut sebagai kesalehan sosial.
“Idealnya kesalehan individu itu mampu melahirkan kesalehan sosial, tetapi kenyataan yang sering terjadi adalah kesalehan individu belum mampu melahirkan kesalehan sosial,” kata Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Muhammadiyah Sulsel, Dr Usman Jasad.
Hal itu ia kemukaan dalam ceramahnya pada Pengajian Bulanan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar yang dirangkaikan Perayaan Maulid Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW), di Masjid Subulussalam Al-Khoory Kampus Unismuh, Jalan Sultan Alauddin, Makassar, Selasa, 17 September 2024.
Pengajian dan perayaan maulid dihadiri Wakil Rektor I Dr Burhanuddin, Wakil Rektor II Prof Andi Sukri Syamsuri, Wakil Rektor III/IV Dr KH Mawardi Pewangi, para pimpinan fakultas dan lembaga, serta dosen, karyawan, dan mahasiswa Unismuh Makassar.
“Kalau ada orang melakukan puasa Ramadhan tetapi sering berbohong, setiap tahun berqurban tapi juga sering mengorbankan orang lain, melakukan ibadah haji tetapi suka menipu, rajin shalat tetapi menghardik dan tidak menyantuni fakir miskin, itu berarti orang tersebut baru memiliki kesalehan individu dan belum memiliki kesalehan sosial,” kata Ustadz Ujas, sapaan akrab Usman Jasad.
Ustadz Ujas kemudian mengutip Qur’an Surah ke-107, Surah Al-Ma’un yang terjemahannya, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”
“Jadi orang yang tidak memiliki kesalehan sosial, oleh Alqur’an disebut sebagai orang yang mendustakan agama. Puasa, qurban, haji, dan shalatnya dianggap dusta karena dia tidak memiliki kesalehan sosial,” kata Ustad Ujas.
Salah satu wujud dari kesalehan sosial itu, lanjutnya, adalah masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan sebutan ‘Masyarakat Madani.’
Madani berasal dari Bahasa Arab dari kata ‘tamaddun’ yang berarti peradaban. Dalam Bahasa Inggris dikenal dengan kata ‘civilization’ yang juga berarti peradaban. Makanya ada yang menyamakan antara masyarakat madani dengan civil society.
Ustadz Ujas mengatakan, Rasulullah diutus untuk mengubah masyarakat jahilliyah yang biadab menjadi masyarakat madani yang berakhlak. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Baihaqiy)
“Jadi masyarakat yang berakhlak itulah masyarakat madani. Masyarakat yang tidak berakhlak itulah masyarakat jahiliyah. Masyarakat yang buang sampah pada tempatnya, itulah masyarakat madani. Masyarakat yang buang sampah sembarangan itulah masyarakat jahiliyah. Masyarakat yang tertib berlalu lintas, itulah masyarakat madani. Masyarakat yang tidak tertib berlalu lintas itulah masyarakat jahiliyah,” tutur Ustadz Ujas.
Ustad Ujas yang sehari-hari dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, menyebut empat ciri masyarakat madani.
Pertama adalah lingkungannya bersih. Ciri masyarakat madani yang kedua yaitu lingkungannya teratur. Ciri masyarakat madani yang ketiga adalah menghargai perbedaan.
“Ciri masyarakat madani yang keempat adalah masyarakatnya menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf artinya mengajak kepada kebaikan. Nahi munkar artinya mencegah kemungkaran,” kata Ustadz Ujas. (*)