MAKASSAR – Baru-baru ini, jagat publik menjadi ramai disebabkan viralnya sebuah video. Trending di berbagai media sosial, video tersebut menampilkan seorang mahasiswa baru yang mengidentifikasi diri sebagai gender netral pada acara penerimaan mahasiswa baru Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Akibatnya, pimpinan kampus kemudian mengusir mahasiswa tersebut dari lokasi kegiatan. Sontak hal tersebut menuai perdebatan dan polemik di kalangan masyarakat umum. Ada yang mengkritik perilaku mahasiswa tersebut dan sebaliknya ada pula yang mengkritik sikap dosen yang dianggap mendiskriminasi.
Asrullah, Ketua Umum PP Lidmi sangat menyayangkan sikap amoral dari mahasiswa tersebut. Menurutnya, “konstitusi benar memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan bersikap, namun kebebasan itu juga tidak boleh melawan norma hukum, norma kesusilaan, norma sopan santun maupun norma agama.
Bahkan secara spesifik jika membaca perdebatan risalah pembentukan konstitusi kita, konstruksi paradigma moral-agama itu sangat kental. Apa yang dilakukan oleh pimpinan kampus tersebut sudah tepat dan sejalan dengan spirit konstitusi serta tujuan pendidikan nasional”.
“Negara kita mengakui bahwa hanya terdapat 2 jenis kelamin. Sehingga pertanyaan dari WD 3 yang merupakan pimpinan kampus itu sudah tepat. Bahkan mengeluarkan anak tersebut adalah bagian pembelajaran agar mahasiswa memahami dengan baik norma dan aturan yang ada,” ucapnya.
Memang dalam diskursus dan kajian sosial, gender telah mengalami pergeseran makna. Pada awalnya gender dimaknai sama dengan jenis kelamin sebagai suatu yang teridentifikasi sejak lahir. Namun, seiring dilakukannya berbagai riset, pendekatan gender kini dimaknai sebagai persoalan konstruk sosial.
Menurut Alumnus Fakultas Hukum Unhas ini, gender sebagai sebuah konstruk sosial tidak seharusnya diterima secara mentah-mentah tanpa adanya nalar kritis. Perlu kiranya kita memahami alur dan histori konstruksi metodologis dari bahasan gender, seks, dan seksualitas itu.
“Jika kita melihat sejarah fenomena dan diskursus gender, seks, dan seksualitas sebagai sebuah wacana maka kita harus melihat genealogi kelahirannya jauh pada abad ke-17 di Prancis. Tesis awal Barat berkaitan dalam melihat gender sangat tendensius diakibatkan isu dan pengalaman sejarah di Barat sendiri yang misogini dan penuh disparitas,” ungkapnya.
Oleh karena itu, problem terbesarnya terletak pada pemahaman dan interpretasi kita terhadap seks, gender, dan seksualitas. Jika hanya dibasiskan pada diskresi personal, maka akan sangat berpotensi meruntuhkan otoritas agama dalam mengkonstruksi gender yang telah ditetapkan.
Lingkar Dakwah Mahasiswa Indonesia, lembaga yang dipimpin Asrullah, menyatakan dengan tegas penolakan terhadap segala jenis unsur LGBTQ+ yang berpotensi merusak moral bangsa. Kampanye LGBT ini pada akhirnya menjadi bumerang bagi terwujudnya insan bangsa intelektual dan beradab yang saat ini berada pada pundak para pemudanya.