Kewajiban mencari nafkah dalam keluarga, dibebankan kepada suami. (QS An Nisa 34 At Taubah : 105). Sedangkan kaum wanita pada dasarnya adalah di rumah. (QS Al Ansab : 33).
Seorang suami yang terbaik adalah yang terbaik kepada isterinya (HR At Tirmidzi, Abu Daud, dll). Di antara terbaik adalah “terbaik”, dalam kemandirian ekonomi (nafkah). Agar isteri bisa fokus mengurus rumah tangga dan mendidik anak menjadi pelanjut. Ini idealnya.
Namun kenyataan sekarang, tidak sepenuhnya seperti itu. Ada kondisi suami yang penghasilannya lebih kecil daripada belanja pokoknya. Boro-boro memikirkan yang sekunder, apalagi kebutuhan lux.
Disitulah isteri bisa membantu, sebagaimana dahulu Asma binti Abu Bakar membantu suaminya Az Zubair bin Awwam, membawa barang dagangannya.
Apalagi jika wanita tersebut single parent. Atau memiliki suami yang tidak bertanggung jawab. Kerjaannya hanya makan tidur. Maka, tidak apa-apa wanita tersebut mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Kadang ada wanita muslimah bekerja, bukan karena keterdesakan kebutuhan ekonomi. Tapi sekadar eksploitasi diri dari pendidikan yang ia pernah jalankan. Malahan ada juga yang sekadar mengisi waktu luang, sebab anak-anak sudah besar semua.
Perhatikan “Rambu-rambu”
Namun pembolehan ini, tetap memiliki dhawabit (rambu-rambu) yang mesti dipertahankan para muslimah bekerja.
- Sebaiknya jika memang benar-benar dibutuhkan.
- Memilih pekerjaan yang bisa dijalankan di rumah.
- Mendapat izin suami.
- Tidak melupakan tugas yang lebih asas bagi seorang ibu, yaitu mengurus anak-anak dan rumah tangga.
- Jika mesti aktivitas di luar rumah, maka menjaga adab berpakaian dan tidak tabarruj.
- Usahakan hindari situasi yang memungkinkan ikhtilat dengan lawan jenis, atau berduaan. Bagian ini sangat sulit jika di angkutan umum.
- Memperhatikan jenis pekerjaan yang sesuai dengan jati diri muslimah. (Ustadz Farid Nu’mang Hasan/ana)