Indonesia memang telah dikenal sebagai negara yang memiliki jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini. Sejak 1991, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah memetakan bahasa ibu atau bahasa daerah yakni sebanyak 718 bahasa yang teridentifikasi dan sebelas di antaranya telah punah atau tidak ada lagi penuturnya. Bagaimana agar bahasa ibu itu tidak punah?
Plt. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dadang Sunendar, mengimbau para orang tua untuk mewariskan bahasa daerah ke anak-anaknya agar tetap lestari.
Sebaiknya bahasa daerah, kata dia, digunakan anak-anak sejak kecil dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarganya. Hal ini dapat menjadi dasar bagi mereka memahami lingkungan sekitarnya selain sebagai sarana komunikasi.
“Apabila seorang Indonesia mampu berbahasa Indonesia dengan baik, bertanggung jawab, tidak mudah termakan hoaks, melestarikan bahasa daerahnya, dan menguasai bahasa asing, Indonesia akan tetap tumbuh di dunia global,” ujar Dadang.
Bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali dipelajari oleh seseorang sejak kecil secara alamiah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, penduduk Indonesia berusia di atas 5 tahun yang masih menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari sebanyak 79,5 persen. Akan tetapi, dalam konteks sosial budaya di Indonesia, konsep bahasa ibu ini tidak serta merta dan secara sederhana dapat dilihat dari pemakaian bahasa sehari-hari di rumah.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Arief Rachman, menambahkan kelestarian bahasa akan memperkokoh mutu manusia itu sendiri. Bahasa daerah memiliki empat kekuatan yakni menguatkan rasa kekeluargaan, mampu menumbuhkan toleransi, saling mengenalkan satu dengan yang lain, dan menjaga perbedaan.
“Mudah-mudahan bahasa daerah tidak hanya dalam nyanyian saja tapi digunakan dalam keseharian kita,” ujarnya.
Kemendikbud terus melakukan upaya pelindungan bahasa dan sastra di Indonesia sejak 1991 lalu. Dari 718 bahasa yang telah teridentifikasi atau terpetakan, 90 di antaranya telah dilakukan kajian berdasarkan status atau vitalitas bahasa. Sebanyak 21 bahasa dari jumlah tersebut telah terkonservasi dan 24 bahasa terevitalisasi serta 314 bahasa tervalidasi.
Pelindungan bahasa tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebahasaan.
Bahkan hal itu diatur juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2017 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
Sumber: Kemendikbud